"Jangan bangga menjadi anak SMUDAMA, tetapi buatlah SMUDAMA bangga memiliki kamu."
Smudama, smudama, smudama, smudama....
Kalimat "Never Ending Story" adalah kalimat yang paling cocok. Di smudama, cerita-cerita soal masa lalu tidak akan pernah bisa dilupakan. MOS, LDK, baksos, dan lain-lain tidak akan pernah dilupakan, apalagi saat 2 bulan pertama di mana kita tidak bisa bertemu dengan orangtua kita. Huff, saya pun masih teringat dengan masa-masa itu.
Saya berasal dari SMP Dian Harapan makassar, dan sekarang bersekolah di SMA Negeri 2 Tinggimoncong. Tidak terpikir di kepala saya mengapa saya setuju bersekolah di sekolah itu saat orangtua saya mendaftarkan saya di sana. Tak terpikirkan mengapa saya bisa lulus di sekolah itu padahal sehari sebelum tes saya tidak sempat belajar karena mama saya kambuh asmanya malam-malam. Dan pada saat saya membaca nomor tes saya di koran, saya tidak tahu harus senang atau sedih. Senang karena bisa masuk ke sekolah Andalan Sul-Sel, dan sedih karena harus meninggalkan orangtua saya.
Pada waktu Penerimaan Siswa Baru, saya tidak menginap di smudama, melainkan ke Malino bersama orangtua saya karena saya tidak tahu ternyata boleh nginap. Dan pada saat tes, saya merasa sedikit deg-degan. Semua orang kelihatan pintar. Semua orang terlihat sangat optimis untuk masuk di sana. Saya lalu menjadi takut, bisakah saya diterima diantara kurang lebih 400 orang yang ikut tes? Apakah saya termasuk 90 orang yang lulus?
Nomor tes saya adalah 115, dan itu berarti saya berada di ruangan 5, dan pada waktu itu berada di ruang Geografi. Saat saya menuruni tangga "maut" untuk menuju ruang geografi, terlihat banyak orang yang memandang saya dengan heran. Saya cuma bisa bertanya-tanya, kenapa? Apakah saya yang terlalu kegeeran??
Pada saat tes, saya melihat ada 100 pertanyaan di situ dan saya mulai mengerjakannya. Pengawas saya di ruangan itu adalah Pak Syamsiar dan Ibu Rahmatia. Di ruangan itu saya cuma mengenal satu orang, yaitu sepupu saya yang juga tes di sana, dengan nomor tes 108 dengan nama Andi Adam Maulana. Dari 100 soal tersebut, yang paling banyak saya tidak tahu adalah biologi.
Saya waktu itu selesai lebih cepat daripada yang lain tetapi saya tidak mau keluar. Tetapi, Pak Syamsiar terus mengatakan bahwa yang sudah selesai sebaiknya keluar saja, dan akhirnya saya keluar saya. Dan pada saat keluar, ternyata masih agak sepi dan yang ada cuma beberapa peserta yang sudah selesai dan kakak-kakak panitia PSB. Dan saat mereka melihat saya, saya bisa mendengar kalimat, "Eh, ada anak DH! Anak DH itu!" Saya cuma bisa tersenyum dalam hati. Dua orang kakak kelas menghampiri saya, yang sekarang saya tahu namanya yaitu kak Restian Tri Pramutia dan kak Ulil Ardi Syahdan dan mengajak saya berbicara sejenak.
Setelah semuanya selesai mengerjakan soal, kami disuruh masuk lagi dan masuklah dua orang kakak kelas yang bernama kak Alqarama Mahardika sedangkan yang satunya saya lupa. Mereka berdua mensosialisasikan tentang peraturan-peraturan smudama. Soal peraturan OSIS, asrama, dan lain-lain. Dan yang saya ingat pada waktu contoh untuk model rambut yang ada pada saat itu adalah kak Arnilla Trinanda. Pada saat kami semua yang berada di ruangan 5 melihat model rambut untuk anak Smudama, yang harus diikat dan dijepit, beberapa anak perempuan di ruangan itu seperti mengeluh. Tetapi bagi saya itu tidak masalah karena saya juga terbiasa mengikat rambut saya.
Setelah sosialisasi, kami disuruh keluar lagi dan persiapan untuk wawancara. Saya agak sedikit takut. Takut tidak lulus hanya karena hasil wawancara tersebut. Yang mewawancarai saya adalah Pak Syamsiar. Setelah tes, saya lalu menuju ke kantor untuk bertemu orang tua saya dan kembali pulang ke makassar.
Kalimat "Never Ending Story" adalah kalimat yang paling cocok. Di smudama, cerita-cerita soal masa lalu tidak akan pernah bisa dilupakan. MOS, LDK, baksos, dan lain-lain tidak akan pernah dilupakan, apalagi saat 2 bulan pertama di mana kita tidak bisa bertemu dengan orangtua kita. Huff, saya pun masih teringat dengan masa-masa itu.
Saya berasal dari SMP Dian Harapan makassar, dan sekarang bersekolah di SMA Negeri 2 Tinggimoncong. Tidak terpikir di kepala saya mengapa saya setuju bersekolah di sekolah itu saat orangtua saya mendaftarkan saya di sana. Tak terpikirkan mengapa saya bisa lulus di sekolah itu padahal sehari sebelum tes saya tidak sempat belajar karena mama saya kambuh asmanya malam-malam. Dan pada saat saya membaca nomor tes saya di koran, saya tidak tahu harus senang atau sedih. Senang karena bisa masuk ke sekolah Andalan Sul-Sel, dan sedih karena harus meninggalkan orangtua saya.
Pada waktu Penerimaan Siswa Baru, saya tidak menginap di smudama, melainkan ke Malino bersama orangtua saya karena saya tidak tahu ternyata boleh nginap. Dan pada saat tes, saya merasa sedikit deg-degan. Semua orang kelihatan pintar. Semua orang terlihat sangat optimis untuk masuk di sana. Saya lalu menjadi takut, bisakah saya diterima diantara kurang lebih 400 orang yang ikut tes? Apakah saya termasuk 90 orang yang lulus?
Nomor tes saya adalah 115, dan itu berarti saya berada di ruangan 5, dan pada waktu itu berada di ruang Geografi. Saat saya menuruni tangga "maut" untuk menuju ruang geografi, terlihat banyak orang yang memandang saya dengan heran. Saya cuma bisa bertanya-tanya, kenapa? Apakah saya yang terlalu kegeeran??
Pada saat tes, saya melihat ada 100 pertanyaan di situ dan saya mulai mengerjakannya. Pengawas saya di ruangan itu adalah Pak Syamsiar dan Ibu Rahmatia. Di ruangan itu saya cuma mengenal satu orang, yaitu sepupu saya yang juga tes di sana, dengan nomor tes 108 dengan nama Andi Adam Maulana. Dari 100 soal tersebut, yang paling banyak saya tidak tahu adalah biologi.
Saya waktu itu selesai lebih cepat daripada yang lain tetapi saya tidak mau keluar. Tetapi, Pak Syamsiar terus mengatakan bahwa yang sudah selesai sebaiknya keluar saja, dan akhirnya saya keluar saya. Dan pada saat keluar, ternyata masih agak sepi dan yang ada cuma beberapa peserta yang sudah selesai dan kakak-kakak panitia PSB. Dan saat mereka melihat saya, saya bisa mendengar kalimat, "Eh, ada anak DH! Anak DH itu!" Saya cuma bisa tersenyum dalam hati. Dua orang kakak kelas menghampiri saya, yang sekarang saya tahu namanya yaitu kak Restian Tri Pramutia dan kak Ulil Ardi Syahdan dan mengajak saya berbicara sejenak.
Setelah semuanya selesai mengerjakan soal, kami disuruh masuk lagi dan masuklah dua orang kakak kelas yang bernama kak Alqarama Mahardika sedangkan yang satunya saya lupa. Mereka berdua mensosialisasikan tentang peraturan-peraturan smudama. Soal peraturan OSIS, asrama, dan lain-lain. Dan yang saya ingat pada waktu contoh untuk model rambut yang ada pada saat itu adalah kak Arnilla Trinanda. Pada saat kami semua yang berada di ruangan 5 melihat model rambut untuk anak Smudama, yang harus diikat dan dijepit, beberapa anak perempuan di ruangan itu seperti mengeluh. Tetapi bagi saya itu tidak masalah karena saya juga terbiasa mengikat rambut saya.
Setelah sosialisasi, kami disuruh keluar lagi dan persiapan untuk wawancara. Saya agak sedikit takut. Takut tidak lulus hanya karena hasil wawancara tersebut. Yang mewawancarai saya adalah Pak Syamsiar. Setelah tes, saya lalu menuju ke kantor untuk bertemu orang tua saya dan kembali pulang ke makassar.
to be continued...